Dear kamu yang selalu benar.
Surat ini saya tulis setelah melihat beberapa komentar, beberapa postingan yang membanding-bandingkan Ridwan Kamil dan Jokowi, ada juga tentang foto megawati. Ah, malas rasanya membuka lagi timeline social media, sama seperti saat kampanye pemilihan Presiden tahun 2014 lalu.
Mungkin kamu hanya sedang meluapkan pendapatmu yang berharga, mungkin kamu hanya ingin aspirasimu di dengar sebagai warga negara. Tapi saya rasa, itu terbaca seperti menghina. Seseorang yang gambarnya sedang kamu komentari dengan kata-kata yang tak pantas, adalah Ayah dari anak-anak, Suami dari seorang istri, yang tentu saja perlu di jaga perasaannya. Perlu di hargai perjuangannya. Pernahkah kamu berfikir, bagaimana jika ia adalah Ayahmu? Suamimu? Atau anakmu? Di hujat tanpa alasan, yang kamu bilang "Resiko pejabat publik". Masih tega mengkomentari apa yang seharusnya kamu hargai? Mungkin iya, karena aku tahu kamu selalu benar.
Itu baru gambar seoarang Pria yang menjadi pemimpin di negeri ini. Belum lagi sebuah gambar wanita sepuh yang kamu pertanyakan keberadaannya. Kamu tahu, wanita adalah mahluk mulia, ia yang kamu komentari itu adalah seoarang Ibu, Istri, dan Nenek. Bagaimana jika itu terjadi padamu? Adik perempuanmu, Ibumu, atau juga nenekmu. Ah iya, kamu yang selalu benar, jadi buat apa aku mengatakan ini, pasti kamu tak mau tahu.
Untuk kamu yang selalu benar, bisakah kamu sebutkan apa yang sudah kamu kontribusikan untuk negara Indonesia? Sudahkah bayar pajak? Sudahkan menaati rambu-rambu lalu lintas? Jangan bicara tentang memajukan negara, jika membuat SIM saja masih menembak. Jika di tilang masih telepon kenalan agar bisa di bebaskan. Jangan bicara tentang keadilan, ketika ujian saja kamu masih meminta kunci jawaban. Atas nama seni dan budaya, kamu hasilkan karya, benarkah untuk Indonesia? Atau hanya untuk ketenaran pribadi? Demi pundi-pundi untuk hura-hura di mall atau cafe? Demi kebebasan menapaki alam, kemudian kamu pamerkan di Instagram? Ah iya, kamu selalu benar.
Kamu yang selalu benar, cobalah lebih sopan untuk mengutarakan pikiran. Iya, kamu selalu benar, karena berpendapat adalah hak azasi setiap manusia. Tapi kamu tahu kan batasan hak azasi manusia adalah hak azasi manusia yang lainnya? Aku tak mau membahas demokrasi, karena setahuku tak ada kebebasan yang murni. Mungkin aku salah, karena kamu yang selalu benar.
No comments:
Post a Comment