“Anak laki nggak boleh nangis!” sering denger kalimat itu? Atau kamu juga sering bilang gitu? Duh, kadang aku masih keceplosan ngomong gitu sama anak-anak aku yang notabene adalah lelaki. Padahal ya gaes, anak laki-laki nggak apa-apa koo nangis. Lelaki juga punya hak meluapkan emosi dengan cara yang benar. Tahu nggak kalo kita melarang dan membiasakan anak laki-laki NGGAK BOLEH NANGIS, mereka jadi nggak bisa meluapkan emosinya dengan benar. Daaaaaaaan disinilah awal mula, kebanyakan laki-laki menjadi keras terhadap perempuan. Mereka meluapkan emosinya melalui kekerasan. Mulai dari kekerasan verbal hingga kekerasan fisik. Serem? Banget.
Dengan fakta demikian, Rutgers WPF Indonesia mengadakan sebuah program bernama Prevention Plus atau P+, yang bekerja sama dengan berbagai stake holder untuk menghapus kekerasan dalam rumah tangga dan kekerasan seksual. Uniknya, tidak hanya perempuan yang diajak untuk SPEAK UP tentang diri nya jika mendapati kekerasa, namun Prevention Plus juga mengajak Lelaki sebagai Agen perubahan untuk mewujudkan kesetaraan gender dan menghapus kekerasan seksual.
Sebelum mulai webinar kemarin, aku dikasih tahu beberapa fakta seperti krnyataan bahwa di Indonesia sangat kental dengan unsur patriaki, sehingga masih banyak yang berfikir laki-laki memiliki kontrol dan kuasa terhadap anggota keluarga yang lain. Konstruksi sosial yang lekat dengan budaya patriarki pula yang melanggengkan kekerasan berbasis gender. Minimnya keterlibatan laki-laki dalam upaya pencegahan kekerasan berbasis gender merupakan salah satu faktor yang membutuhkan perhatian lebih, dimana sebagian besar program-program yang berkembang selama ini masih berfokus pada pemberdayaan perempuan dan belum cukup menyasar akar persoalannya, yaitu norma dan relasi gender laki-laki dan perempuan.
Apa itu Prevention Plus (P+)?
Prevention+ adalah program dari Rutgers WPF Indonesia yang merupakan kelanjutan dari program MenCare+ dengan tujuan untuk mewujudkan kesetaraan gender dan penghapusan kekerasan seksual sebagai suatu kondisi yang ideal bagi pemenuhan hak-hak dan kesehatan seksual dan reproduksi dan membongkar norma-norma gender yang ada.
Prevention+ juga bertujuan mengurangi kekerasan terhadap perempuan serta meningkatkan partisipasi ekonomi perempuan dengan pendekatan pelibatan laki-laki sebagai agen perubahan dan mempromosikan nilai maskulinitas yang positif berdasarkan nilai kesetaraan dan nonkekerasan.
Inilah beberapa program yang sudah dilakukan Prevention plus :
1. Diskusi komunitas reguler untuk empat kelompok (perempuan dewasa, laki-laki dewasa, perempuan remaja, dan laki-laki remaja) menggunakan modul-modul yang mengangkat tema kesetaraan gender dan pelibatan laki-laki;
2. Konseling Kekerasan Berbasis Gender dan Seksual (KBGS) termasuk pendampingan psikososial dan hukum;
3. Kampanye melalui berbagai media, termasuk media sosial;
4. Advokasi dari tingkat desa hingga ke tingkat nasional, termasuk menghasilkan beberapa Satgas Penanganan Kekerasan Perempuan dan Anak di wilayah Lampung serta advokasi penganggaran di Yogyakarta serta advokasi penegak hukum (polisi, kejaksaan).
Mengapa harus laki-laki?
Karena pada dasarnya, hanya ada dua gender. Salah satu pihak nya adalah perempuan, pihak yang lain adalah laki-laki. Jika hanya perempuan yang menggaungkan dan berusaha mewujudkan kesetaraan gender tentu saja akan sulit. Maka laki-lakipun dilibatkan sebagai agen perubahan, sebagai mitra. Bukan hanya sebagai pihak yang dianggap pelaku ataupun korban saja.
Selain membuat program khusus, Rutgers WPF Indonesia juga menggandeng empat mitra lokal dalam mewujudkan kesetaraan gender dan penghapusan kekerasa seksual ini. Siapa saja kah mereka?
1. Damar - Lampung
Damar adalah organisasi yang berbentuk perkumpulan berbasiskan keanggotaan, dan menaungi tiga lembaga eksekutif. Pertama, Lembaga Advokasi Perempuan DAMAR. Kedua, Lembaga Advokasi Anak (LAdA) DAMAR. Ketiga, Institut Pengembangan Organisasi dan Riset (IPOR) DAMAR.
Bersama Rutgers WPF Indonesia dalam Prevention Plus, Damar fokus pada menghapuskan kekerasan terhadap perempuan di wilayah Lampung. Mengingat adanya data yang cukup banyak, yaitu 922 kasus kekerasan terhadap perempuan selama tahun 2017 hingga 2018. Dan 540 kaus diantaranya adalah kasus kekerasan seksual. Sejak kehadirannya Damar mampu menekan angka kasus menjadi hanya 237 selama tahun 2019-2020. Meski dalam data angka kekerasan terhadap perempuan menurun, belum tentu dilapangan kasus tersebut berkurang. Karena kita tahu bahwa tidak semua korban mampu melaporkan kasus kekerasan yang dialaminya.
Masih dalam kaca mata kepentingan korban, rekonsiliasi korban dengan pelaku diperlukan dalam proses pendamaian korban dengan dirinya sendiri. Mengapa saya yang mengalami hal ini, mengapa dia tega melakukan ini kepada saya, adalah pertanyaan-pertanyaan yang dapat menghantui korban sepanjang hidupnya. Korban mempertanyakan esensi dirinya, bahkan mengubah persepsi dirinya menjadi pribadi yang pantas menerima perlakuan kasar pelaku.
Ketika pelaku mengakui bukan diri korban penyebabnya, melainkan dialah pihak yang bertanggung jawab atas tindakannya, akan menjadi momen penting yang berperan bagi proses penyembuhan psikis korban. Untuk dapat melakukannya, seorang pelaku membutuhkan penyadaran. Konseling dapat membantu pelaku untuk mencapai kesadaran ini, yang selanjutnya membantu proses pembentukan kembali jati diri korban sebagai manusia yang layak dicintai.
Kekerasan akan selalu ada jika pelakunya tidak pernah belajar pengetahuan, sikap, dan keterampilan yang dibutuhkan agar ia tidak lagi melakukan kekerasan. Hukuman pidana berupa kurungan penjara mungkin saja memberi efek jera. Namun hukuman ini tidak akan efektif untuk mengubah pola kekerasan yang sudah mengakar dalam diri pelaku. Bukan tidak mungkin pelaku kembali melakukan kekerasan setelah selesai menjalani pidana. Karena hukuman pidana hanya mengajarkan bahwa perilakunya salah tanpa memberitahukan caranya bagaimana supaya ia tidak lagi melakukan kesalahan yang sama.
2. YABIMA
Visi YABIMA adalah sebagai kawan untuk membangun Sumbagsel yang bermartabat bagi segenap ciptaan. Nilai-nilai yang hendak dibangun dalam strategi dan tata kelola program yang ada di masyarakat adalah: Asketisme untuk berbagi, Keadilan yang berpihak, Spiritualitas, Sensitif gender, Perdamaian, Penghargaan terhadap pluralitas, Dialog untuk partisipasi, dan Akuntabilitas.
Dalam kerjasamanya bersama Rutgers WPF Indonesia di program Prevention Plus ini, YABIMA memiliki wilayah kerja yang sama dengan Damar.
3. Rifka Annisa
Menurut Rifka, Laki-laki dibiasakan untuk menekan emosinya, sehingga ketika tekananan itu begitu kuat, maka ia bisa menjadi bom waktu yang muncul dalam bentuk perilaku kekerasan. Ketika laki-laki tidak selalu bisa memenuhi idealitas menjadi laki-laki yang dinginkannya. Ketidak mampuan laki-laki tersebut dapat menimbulkan krisis maskulinitas, sehingga laki-laki dapat melakukan pengontrolan atau pelampiasan pada orang lain, umumnya perempuan yang posisinya dianggap lebih rendah untuk menunjukkan atau mempertahankan kuasanya. Patriarkhi bukan saja struktur yang membenarkan kuasa laki-laki atas perempuan, tapi juga laki-laki atas laki-laki lainnya.
Pusing ya? Saya sih iya, jadi para laki-laki sangat dianjurkan juga berkonsultasi jika merasa ada sesuatu yang janggal. Rasa insecure pada laki-laki seperti bom waktu yang dapat meledak dalam bentuk kekerasan terhadap perempuan. Karenanya Rifka Annisa memberikan sebuah poin penting yaitu "Laki-laki juga perlu konsultasi".
4. Sahabat Kapas
Nurlaila Yukamujrisa, Manajer Program Sahabat Kapas memaparkan kegiatan konseling yang sudah berjalan. Dimana konseling tersebut dilakukan pada pelaku kekerasan seksual. Konseling ini diberikan pada anak (remaja) laki-laki pelaku kekerasan berbasis gender di Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA).
Konseling kelompok konseling kelompok melibatkan petugas terlatih dlm perannya sebagai actor rehabilitasi anak. Keterlibatan petugas sangat berpengaruh pada proses perubahan anak. Ada 13 petugas di 3 LPKA (Tangerang, Kutoarjo, Yogyakarta) dilatih tentang konseling pencegahan kekerasan berbasis gender agar memiliki perspektif adil gender dan ramah anak. Dalam menjalani proses ini disediakan ruang konseling khusus bagi anak di LPKA Kutoarjo dan Yogyakarta.
5. Rahima
Rahima, Pusat Pendidikan dan Informasi Islam dan Hak-Hak Perempuan adalah sebuah organisasi non-pemerintah (Ornop) atau non government organization (NGO ) yang berfokus pada peningkatan kesadaran tentang Islam, gender, dan hak-hak perempuan. Nama “Rahima” terinspirasi dari dua hal, pertama, ‘rahim’ perempuan yang merupakan tempat dimana kehidupan manusia pertama kali disemaikan. Dan kedua, dari salah satu dari 99 nama Tuhan yang indah (al-asma-ul husna) yakni Ar-Rahiim yang artinya “Maha Penyayang”. Oleh karenanya, maksud diambilnya nama Rahima adalah ‘untuk merayakan kehidupan dengan semangat welasasih atau kasih sayang’.
Dalam program Prevention+ Rahima, melakukan pendekatan terhadap isu relasi antara laki-laki dan perempuan dalam perspektif islam. Dimana seorang perempuan justru diberikan hak khusus untuk dilindungi, disayangi, dan dicintai. Salah satunya adalah dengan bekerjasama juga dengan KUA dalam membuat juknis penataran pra nikah.
Dalam waktu dua jam rasanya sangat kurang sekali apa yang kami didiskusikan. Intinya aku menangkap bahwa kekerasan seksual dan kesetaraan gender tidak bisa hanya diwujudkan oleh salah satu pihak, namun harus oleh seluruh masyarakat yang dimulai dari diri sendiri.
Kalo kamu ingin tahu lebih lanjut program Prevention Plus ini, kamu bisa kunjungi website www.rutgers.id atau instagram @rutgerswpfindo eiah twitter nya juga ada lho @rutgerswpfindo dan akun Youtube Rutgers Indonesia.
Semoga bermanfaat!
No comments:
Post a Comment